Bergabunglah di grup telegram Urie Join now

Biografi Jean-Paul Sartre: Filosof Eksistensialis yang Mewarnai Abad ke-20

Sartre, sebagian dari kita mengenalnya dalam filsafat eksistensialisme sebagian lagi karena hubungannya dengan feminis Simone de Beauvoir.
Biografi Jean-Paul Sartre

URIEPEDIA.ID, - Jean-Paul Sartre adalah salah satu filsuf, penulis, dan aktivis paling terkenal pada abad ke-20. Dikenal sebagai tokoh utama dalam aliran eksistensialisme, pemikirannya sangat berpengaruh tidak hanya dalam dunia filsafat, tetapi juga dalam sastra, politik, dan seni. Dengan karya-karya monumentalnya seperti Being and Nothingness dan Nausea, Sartre menggugah banyak orang untuk mempertanyakan eksistensi, kebebasan, dan tanggung jawab. Filosofinya menekankan kebebasan individu dan pentingnya memilih dengan sadar untuk menciptakan makna dalam hidup.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Jean-Paul Sartre lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis. Ia berasal dari keluarga kelas menengah, dengan ayahnya yang merupakan seorang perwira angkatan laut, namun ayahnya meninggal ketika Sartre baru berusia 15 bulan. Setelah kematian ayahnya, Sartre dibesarkan oleh ibunya, yang berasal dari keluarga yang cukup baik secara sosial.

Sartre menunjukkan kecerdasannya sejak kecil, dan ini membawanya ke sekolah-sekolah bergengsi, termasuk École Normale Supérieure (ENS) di Paris. Di sini, ia bertemu dengan tokoh penting lainnya, seperti Simone de Beauvoir, yang nantinya menjadi pasangannya serta sesama pemikir dan filsuf eksistensialis. Pada tahun 1929, Sartre berhasil meraih gelar agrégé dalam filsafat, yang merupakan gelar tertinggi dalam bidang tersebut di Prancis.

Filsafat Eksistensialisme dan Karya Utama

Sartre mulai mengembangkan pandangan filsafat yang sangat personal dan mendalam tentang eksistensi manusia. Dalam karya utamanya, Being and Nothingness (1943), Sartre menyatakan bahwa manusia hidup dalam "kebebasan yang terkutuk." Menurutnya, manusia tidak hanya harus menghadapi kebebasan untuk memilih, tetapi juga harus menerima tanggung jawab atas pilihan-pilihan tersebut. Ini menjadi inti dari pandangan eksistensialisnya, yang menekankan bahwa tidak ada esensi manusia yang tetap sebelum dia memilih dan bertindak—manusia, dengan kata lain, "terkutuk" untuk menciptakan dirinya sendiri melalui tindakan.

Sartre menolak pandangan tradisional yang menganggap bahwa kehidupan manusia memiliki tujuan atau makna yang telah ditentukan sebelumnya. Ia menganggap bahwa makna hidup bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan sesuatu yang harus diciptakan oleh individu itu sendiri. Baginya, kebebasan adalah inti dari eksistensi manusia, tetapi kebebasan itu datang dengan beban tanggung jawab yang besar, karena setiap pilihan yang kita buat membentuk dunia dan diri kita.

Selain Being and Nothingness, Sartre juga menulis sejumlah karya penting lainnya, baik dalam bentuk prosa maupun drama. Salah satunya adalah Nausea (1938), sebuah novel yang menggambarkan perasaan teralienasi dan absurditas yang dialami oleh protagonisnya, Roquentin, yang merasa tidak nyaman dengan kehidupan sehari-hari dan menemukan kebingungannya dalam kenyataan eksistensial yang absurd. Karya ini sering dianggap sebagai salah satu karya sastra terbaik yang menggambarkan pandangan eksistensialis tentang kehidupan.

Eksistensialisme dan Komitmen Sosial

Sartre tidak hanya berfokus pada filsafat murni, tetapi juga pada masalah sosial dan politik. Sebagai seorang intelektual, ia merasa bertanggung jawab untuk terlibat langsung dalam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pada masa Perang Dunia II, Sartre bergabung dengan tentara dan sempat dipenjara oleh pasukan Nazi. Selama periode ini, Sartre mengembangkan pandangan-pandangannya tentang kebebasan individu, opresi, dan tanggung jawab sosial.

Setelah perang, Sartre aktif dalam politik dan terlibat dalam berbagai pergerakan sosial. Ia menjadi kritikus tajam terhadap kolonialisme dan mendukung perjuangan kemerdekaan bagi negara-negara yang terjajah, seperti di Aljazair. Sartre juga mengkritik kapitalisme dan kapitalisme pasar, serta mengusung ide sosialisme dan marxisme. Meskipun ia mendukung beberapa ideologi kiri, Sartre tetap menolak bentuk-bentuk otoritarianisme dan mempertahankan pandangannya tentang kebebasan individu.

Pada tahun 1964, Sartre menolak untuk menerima Hadiah Nobel Sastra, karena ia merasa bahwa penghargaan itu akan membatasi kebebasan dan integritas intelektualnya. Ini adalah keputusan yang mencerminkan filosofi hidupnya—bahwa kebebasan individu lebih penting daripada pengakuan atau penghargaan eksternal.

Hubungan dengan Simone de Beauvoir

Salah satu aspek paling terkenal dalam kehidupan pribadi Sartre adalah hubungannya dengan sesama filsuf dan penulis, Simone de Beauvoir. Keduanya menjalin hubungan yang sangat dekat, tetapi tidak konvensional. Mereka tidak pernah menikah, tetapi memiliki hubungan yang saling mendukung secara intelektual dan emosional. Simone de Beauvoir, yang juga seorang tokoh terkemuka dalam gerakan feminis, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Sartre, dan dalam bukunya The Second Sex, ia mengembangkan banyak ide tentang kebebasan dan eksistensi yang sejalan dengan pandangan Sartre.

Meskipun keduanya memiliki kebebasan dalam hubungan mereka dan sering menjalani hubungan dengan orang lain, kedekatan intelektual mereka adalah inti dari hubungan mereka yang luar biasa. Simone de Beauvoir sering kali menjadi penulis yang setia mendukung pemikiran Sartre, dan sebaliknya, Sartre juga mendukung karya-karya besar de Beauvoir.

Penerimaan dan Kritik terhadap Sartre

Jean-Paul Sartre adalah sosok yang sangat dihormati di kalangan intelektual, namun ia juga menuai banyak kritik. Pandangan-pandangannya yang menekankan kebebasan total sering dianggap terlalu radikal, bahkan oleh beberapa pemikir sosialis dan Marxis. Beberapa kritikus berpendapat bahwa kebebasan individu yang ditekankan Sartre bisa menyebabkan kehancuran sosial, karena tidak memperhitungkan struktur sosial yang ada.

Namun, pengaruh Sartre sangat besar. Filsafat eksistensialisnya telah menginspirasi berbagai pemikir, penulis, dan seniman di seluruh dunia. Di samping karya-karyanya yang sangat berpengaruh, komitmennya terhadap kebebasan, kemanusiaan, dan keadilan sosial menjadikannya sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sejarah filsafat dan intelektual abad ke-20.

Kematian dan Legacy

Jean-Paul Sartre meninggal pada 15 April 1980 di Paris, pada usia 74 tahun. Meskipun dia sudah tiada, warisan intelektual dan filsafatnya tetap hidup. Banyak pemikir dan penulis yang masih mengkaji dan merujuk karya-karya Sartre dalam bidang filsafat, sastra, dan politik. Sartre tetap menjadi simbol perjuangan kebebasan pribadi dan tanggung jawab dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian.

Dalam dunia modern, eksistensialisme Sartre masih relevan karena menantang kita untuk mempertanyakan diri kita sendiri, kebebasan kita, dan bagaimana kita memilih untuk hidup. Pengaruhnya dalam filsafat, sastra, dan pemikiran sosial tetap bertahan sebagai refleksi tentang kebebasan, identitas, dan makna hidup dalam dunia yang terus berkembang.

Menulis banyak topik tentang krisis identitas, insecure, anxiety, overthinking dan kesehatan mental lainnya dipadukan dengan budaya pop dan filsafat.