Bergabunglah di grup telegram Urie Join now

Telusur Jati Diri: Mencari Jejak Karuhun di Puncak Gunung Perang

Mencari Jejak Karuhun di Puncak Gunung Perang

Pada minggu, 29 Desember 2024 kemarin, saya dan ayah saya melakukan perjalanan yang sangat bermakna. Kami berangkat dari Rangkasbitung menuju Leuwiliang, tepatnya ke Gunung Perang, tempat di mana kakek dari ayah saya, yang biasa kami sebut buyut, dimakamkan.

Perjalanan ini sebetulnya sudah kami rencanakan jauh hari awal syawal tahun kemarin hingga akhirnya alhamdulillah terlaksana. Ini bukan hanya sekadar perjalanan biasa, tetapi merupakan perjalanan untuk mengenang dan menghormati perjuangan leluhur kami. Seperti yang telah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya yang bertajuk manfaat mengetahui sejarah silsilah keluarga. Kali ini saya memperaktikannya sendiri.

Perjalanan ini memakan waktu sekitar dua jam, dan semakin dekat kami dengan tujuan, semakin saya merasakan perasaan campur aduk antara rasa penasaran dan rasa hormat. Sesampainya di sana, kami disambut dengan hangat oleh saudara-saudara dari buyut saya. Mereka sudah menunggu kami di rumah yang sederhana namun penuh kehangatan. Kami dijamu dengan makanan tradisional yang terasa begitu lezat, dan kami menginap semalam di sana. Malam itu, di tengah keheningan desa, kami duduk bersama keluarga besar buyut saya. Suasana sangat intim, dan para sepupu serta saudara dari ayah saya mulai bercerita tentang buyut kami, seorang veteran perang yang berjuang keras demi kemerdekaan Indonesia.

Buyut saya adalah seorang pejuang yang tidak hanya melawan penjajah Belanda, tetapi juga Jepang dan Londo Ireng. Mendengar kisah-kisah heroik buyut saya malam itu membuat saya merasa semakin dekat dengan sejarah keluarga kami. Saya tak bisa membayangkan betapa beratnya perjuangan mereka di masa itu, dan betapa besar pengorbanan yang mereka berikan untuk negeri ini. Setelah berbicara panjang lebar, kami pun tidur dengan pikiran penuh rasa hormat dan kebanggaan terhadap buyut saya yang telah meninggalkan jejak luar biasa dalam sejarah.

Paginya, pada hari Senin, 30 Desember 2024, saya, ayah saya, dan paman Asim memulai pendakian ke puncak Gunung Perang. Kami berziarah untuk mengunjungi makam buyut saya yang terletak di puncak gunung. Gunung Perang bukanlah gunung yang mudah untuk didaki, terutama saat musim hujan seperti sekarang ini. Tanahnya licin dan jalur pendakiannya sangat curam, membuat setiap langkah menjadi tantangan tersendiri. Namun, meskipun perjalanan terasa berat, ada dorongan kuat dalam hati saya untuk sampai ke puncak dan menghormati makam buyut saya.

Setiap langkah yang kami ambil terasa penuh makna. Dengan bantuan paman Asim yang sudah sangat berpengalaman mendaki, kami perlahan tetapi pasti mendaki gunung yang semakin curam dan licin. Sesekali, saya terpeleset atau tergelincir, namun ayah dan paman selalu ada untuk memberi pertolongan dan dorongan. Kami bertiga bergotong royong, saling menguatkan di sepanjang jalur yang penuh tantangan ini.

Akhirnya, setelah beberapa jam mendaki, kami berhasil mencapai puncak Gunung Perang. Di sanalah makam buyut saya berada—di tempat yang sangat tinggi, seperti mengingatkan kami tentang besarnya pengorbanan yang telah dia lakukan. Kami mengheningkan cipta, mendoakan buyut dan para pahlawan lainnya yang telah gugur demi kemerdekaan. Saya merasa sangat terharu saat berdiri di depan makam buyut, yang meskipun sederhana, tetapi penuh makna. Rasanya seolah-olah saya bisa merasakan semangat perjuangan buyut saya yang masih menyelimuti tempat itu.

Makam karuhun di gunung perang
Makam karuhun di gunung perang

Pendakian ini, meskipun melelahkan, memberikan saya pelajaran yang tak ternilai. Tidak hanya tentang perjuangan fisik dalam mendaki gunung, tetapi juga tentang nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan yang ditinggalkan oleh leluhur kami. Saya merasa sangat bersyukur bisa berada di sana, merasakan kedekatan dengan sejarah keluarga, dan melihat betapa besar arti tempat ini bagi ayah saya dan keluarga kami.

Perjalanan ini lebih dari sekadar mendaki gunung atau mencari makam. Ini adalah perjalanan untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa buyut saya yang merupakan seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia. Momen ini mengajarkan saya untuk lebih menghargai sejarah dan warisan yang telah ditinggalkan oleh para leluhur kita. Gunung Perang bukan hanya tempat ziarah, tetapi juga tempat di mana sejarah hidup kembali, mengingatkan kita akan perjuangan dan pengorbanan yang tak ternilai harganya. Semoga cerita ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu menghormati dan menjaga warisan yang telah diberikan oleh karuhun kita, agar tidak terlupakan oleh generasi berikutnya.

Menulis banyak topik tentang krisis identitas, insecure, anxiety, overthinking dan kesehatan mental lainnya dipadukan dengan budaya pop dan filsafat.