Bergabunglah di grup telegram Urie Join now

Puisi-Puisi Soe Hok Gie: Ekspresi Kebebasan dan Kegelisahan Jiwa

Jelajahi keindahan kata-kata dalam puisi-puisi Soe Hok Gie. Temukan makna mendalam dari pemikiran seorang intelektual muda.

Uriepedia.id, — Soe Hok Gie dikenal luas sebagai seorang aktivis dan pemikir kritis, tetapi ada sisi lain darinya yang sama mengesankannya: ia adalah seorang penyair yang piawai menuangkan kegelisahan, cinta, dan pemikirannya tentang kehidupan ke dalam puisi. Dalam puisi-puisinya Gie memadukan sensitivitas seorang penulis dengan keberanian seorang aktivis, menciptakan karya-karya yang menggugah hati dan pikiran.

Bagi Gie, puisi adalah medium untuk mengekspresikan emosi terdalam yang tidak selalu bisa disampaikan melalui esai atau tulisan jurnalistik. Melalui bait-baitnya, ia berbicara tentang cinta, kematian, perjuangan, dan keterasingan, sering kali dengan nada yang melankolis tapi penuh kedalaman.

Puisi-Puisi Soe Hok Gie

1. Mandalawangi-Pangrango

Puisi Soe Hok Gie yang pertama bertajuk Mandalawangi-Pangrango berikut sajaknya:

Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup.

Jakarta 19-7-1966

Puisi Mandalawangi-Pangrango mencerminkan perenungan mendalam Soe Hok Gie tentang kehidupan, keberanian, dan cinta. Dengan menggambarkan Gunung Pangrango yang dingin dan sunyi, Soe Hok Gie tidak hanya mengungkapkan kecintaannya pada alam, tetapi juga tentang bagaimana ia menghadapinya sebagai simbol keberanian untuk menerima kehidupan dalam segala ketidakpastian dan kehampaan yang ada.

Puisi ini menyentuh tema-tema eksistensial dan filosofi hidup yang penuh dengan tanda tanya dan kebisuan semesta.

2. Sebuah Tanya

Puisi Soe Hok Gie kedua bertajuk Sebuah Tanya berikut sajaknya:

akhirnya semua akan tiba
pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.

apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat. 

(lampu-lampu berkerlipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(haripun menjadi malam
kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)

manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.
Selasa, 1 April 1969

Puisi Sebuah Tanya karya Soe Hok Gie di tulis pada awal April 1969 puisi ini menggambarkan tentang kegelisahan hati seseorang yang teringat akan kekasihnya. Dilansir Catatan Seorang Demonstran, Rudy dan Arief Budiman ini merupakan puisi cinta Soe Hok Gie kepada kekasihnya yang tak bisa bersatu.

Pada saat ini puis Sebuah Tanya masih relevan terutama untuk kehidupan pemuda-pemudi.

3. PESAN

Puisi Soe Hok Gie ketiga bertajuk Pesan sajaknya berikut ini:

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

Harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973

Puisi PESAN mengungkapkan kritik terhadap ketidakadilan sosial dan politik, serta seruan untuk solidaritas dalam perjuangan. Soe Hok Gie menggambarkan perjuangan melawan tirani yang tidak mengandalkan kekuatan fisik atau kekayaan, melainkan pada prinsip-prinsip moral dan ideologi yang tulus.

Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan komitmen terhadap cita-cita besar seperti kemerdekaan, demokrasi, dan keadilan, dan menekankan pentingnya bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama.

Gie juga menekankan bahwa meskipun tantangan sangat besar, cinta dan solidaritas dapat menjadi kekuatan untuk terus melangkah bersama dalam hidup ini.

4. Surat Terakhir Soe Hok Gie

Puisi Soe Hok Gie yang keempat ini sebetulnya Uriepedia belum tahu judulnya apa, namun ketika mengingat film Gie tahun 2005 ini adalah puisi cinta Soe Hok Gie kepada Ira sahabatnya sekaligus surat terakhir sebelum wafat.

ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”

(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)

Ini merupakan puisi cinta Soe Hok Gie yang Uriepedia suka, sebuah kritik terhadap pencarian makna hidup yang dianggap tidak jelas dan sering kali terjebak dalam tujuan yang tidak memadai.

Soe Hok Gie lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan orang yang dicintainya, berbicara tentang hal-hal kecil dan sederhana yang memberikan kebahagiaan dan kedamaian. Meskipun puisi ini mengandung elemen pesimisme dan keraguan terhadap kehidupan, juga ada romantisisme yang mendalam tentang cinta dan kebersamaan.

Melalui pandangan eksistensialisnya, Soe Hok Gie ingin agar kita tidak terjebak dalam pencarian tujuan hidup yang tak pasti, melainkan lebih menghargai keberadaan bersama orang yang kita cintai.

Mengapa Puisi Gie Begitu Bermakna?  

Puisi-puisi Soe Hok Gie bukan hanya ungkapan rasa, tetapi juga cerminan zaman. Ia menulis dengan hati yang tulus, tanpa pretensi, menciptakan karya yang relevan hingga kini. Dalam setiap kata, ada emosi yang nyata dan keinginan untuk memahami kehidupan di tengah dunia yang penuh ketidakpastian.  

Bagi generasi sekarang, puisi-puisi Gie bisa menjadi pengingat bahwa seni, seperti halnya aktivisme, adalah cara lain untuk melawan ketidakadilan dan menemukan kedamaian. Lewat puisi, kita bisa merasakan sisi lain dari Gie: bukan hanya seorang aktivis keras, tetapi juga seorang manusia yang rapuh dan penuh cinta.

Menulis banyak topik tentang krisis identitas, insecure, anxiety, overthinking dan kesehatan mental lainnya dipadukan dengan budaya pop dan filsafat.